BAB I
Pendahuluan
A.
Latar belakang masalah
Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang
sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat pertama yang
diwahyukan Allah kepada Muhammad, dalam surat al Alaq, dimulai dengan
perintah membaca, iqra. Di samping itu, pesan-pesan al Quran dalam
hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat
dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata
ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam al Quran untuk
menunjukan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. Menegaskan
kenyataan diatas, pasangan sarjana muslim kontemporer, Ismail Raji al Faruqi
dan Loislamnya al Faruq (Husni Rahim, 2001:4), membuat pernyataan bahwa, "Islam
mengidentifikasikan diriny sendiri dengan Ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah
syarat dan sekaligus tujuan dari agama ini".
Pendidikan Islam laksana mata uang uang mempunyai dua muka.
Pertama, sisi keagamaan yang merupakan wahyu illahi dan sunnah Rasul,
berisikan hal-hal muthlak dan berada di luar jangkauan indera dan akan
(keterbatasan akal dan indera). Di sini wahyu dan sunnah berfungsi
memberikan petunjuk dan mendekatkan jangkauan indera dan akal budi
manusia untuk memahami segala hakekat kehidupan. Kedua, sisi
pengetahuan berisikan hal-hal yang mungkin dapat diindra dan diakali,
berbentuk pengalaman-pengalaman faktual maupun pengalaman pikir, baik
yang berasal dari wahyu dan sunah maupun dari para pemeluknya
(kebudayaan).
Sisi pertama lebih menekankan pada kehidupan akhirat dan sisi
kedua lebihmenekankan pada kehidupan dunia. Kedua sisi tersebut selalu
diperhatikan dalam setiap gerak dan usahanya. Karena memang pendidikan Islam
mengacu kepada kehidupan dunia dan ukhrawi. Disamping itu, pendidikan Islam
mengikuti aturan- aturan atau garis-garis yang sudah jelas dan pasti serta
tidak dapat ditolak dan ditawar. Aturan itu, yaitu wahyu tuhan yang diturunkan
kepada NabiNya, Muhammad saw. semua yang terlibat dalam Pendidikan Islam harus
berpedoman pada wahyu Tuhan tersebut. Kenyataannya, manusia bukan hanya
digembirakan dan didorong untuk memiliki sistem nilai yang sesuai dengan ajaran
agamanya, melainkan juga diancam jika seandainya mereka mengingkari atau
melanggarnya. Sejarah Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Islam. Karena itu, periodesasi sejarah pendidikan Islam dapat
dikatakan sama dengan periodesasi dalam sejarah Islam itu sendiri. Nasution
(1975:11) dalam bukunya mengemukakan bahwa setidaknya sejarah Islam terbag
kedalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern, dengan
rincian: pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. (571-632 M), masa khulafa
al-râsyidin (631-661M), masa dinasti Umayah di Damsyik (661-750 M), masa
dinasti Abbasiyah di Bagdad, dan masa dari jatuhnya kekuatan Islam di Bagdad
(750-1250 M). Sehubungan dengan periodesasi tersebut, tulisan sederhana ini
bermaksud menguraikan bagaimana pendidikan Islam pada masa Bani Umayah yang
menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana ciri – ciri pendidikan pada Bani Umayyah ?
2.
Dimana sajakah pusat – pusat pendidikan pada Bani Umayyah ?
3.
Apasajakah gerakan – gerakan ilmiyah yang dilakukan pada Bani
Umayyah ?
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM
MASA DINASTI UMAYAH
B. Pembahasan
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah ini
hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Terlebih
lagi ketika kita melihat periodesasi perkembangan sejarah pendidikan Islam yang
dikemukakan dimana sejarah pendidikan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin
dan Dinasti Umayah di Damaskus termasuk fase pertumbuhan pendidikan Islam.[1] Walaupun demikian, ada
sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para penguasa di bidang
pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya yang maksimal, sehingga
pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang
memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah hampir- hampir tidak ditemukan. Jadi, sistem
pendidikan Islam ketika itu masih berjalah secara alamiah. Akan tetapi,
terlepas dari itu semua, sebagaimana yang sebelumnya telah diutarakan, bahwa
pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayah secara esensi sama dengan masa
sebelumnya, namun secara khusus pendidikan pada masa ini memiliki ciri-ciri
khusus yang akan diuraikan selanjutnya.[2]
1. Ciri-Ciri Umum Pendidikan Pada Masa Umayah
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan
Islam pada waktu itu, yakni dibukanya wacana kalam yang berkembang di tengah- tengah
masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah Bani Umayah yang
bersamaan dengan kelahirannya hadir pula polemik tentang orang yang berbuat
dosa besar – wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan
kesehariannya, meskipun wacanan ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor
politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang
memiliki paradigma berpikir secara mandiri. Karena kondisi ketika itu diwarnai
oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan, di dunia pendidikan,
terutama di dunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing.
Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah) dan seni prosa,
mulai menunjukan kebangkitannya.
mengangkat orang dalam hal ini putra mahkota untuk menggantikan
posisinya kelak. Masa Umayah ini berlangsung selama kurang lebih sembilan puluh
tahun antara tahun 40-132 H atau 661-750 M dengan pusat pemerintahan di Damaskus.
Dinasti Umayah ini bercorak Arab Tulen walaupun ibu kotanya berpindah dari
jantung negeri Arab (Madinah) ke suatu kawasan tempat pertemuan peradaban
Romawi dan Persia. Saat itu, dunia sastra dan syair-syair mengalami kemajuan,
dan banyak karya-karya seni Islam yang terpampang di masjid Damaskus. Pada masa
ini pula kegiatan penterjemahan dari berbagai bahasa ke bahasa Arab, walaupun
masih terbatas, telah mulai dilakukan dan dipelopori oleh Khalid ibn Yazid
cucunya Muawiyah. Berikut ini beberapa ciri khas corak pendidikan Islam pada
masa Umayah sebagaimana yang diungkapkan oleh
a. Bersifat Arab.
Ciri utama corak pendidikan masa Umayah adalah bersifat Arab dan
Islam Tulen. Artinya yang terlibat dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh
orang-orang Arab, karena pada saat itu elemen-elemen Islam yang baru belum begitu
bercampur. Hal ini disebabkan pula karena unsur-unsur Arab itulah yang utama
saat itu dan memberi arah pemerintahan secara politik, agama, dan budaya.
Pada periode ini pengajaran Islam dilakukan dengan cara membentuk halaqah-halaqah
ilmiah yang diselenggarakan di mesjid-mesjid. Dari halaqah-halaqah inilah pada
perkembangan selanjutnya melahirkan beragam madzhab dan aliran-aliran Islam,
diantaranya muncul khawarij, syi'ah dan mu'tazilah.
b. Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru
Muncul.
Sangat wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal kehidupan
Islam ini untuk merusaha menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya. Itulah sebabnya
pada periode ini banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam rangka
menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama.
Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan negara. Pada masa
ini pula, khalifah-khalifah mengutusa para ulama keseluruh negeri dan bersama
dengan tentara untuk menyiarkan dakwah Islamiah. Mereka juga mengingatkan para
gubernur setiap daerah akan pentingnya penyiaran agama dan ajaran-ajarannya. Selanjutnya
ketika Umar bin Abd. Azis menjabat sebagai khalifah beliau pernah mengutus 10
ahli fiqih ke Afrika Utara untuk mengajar anak-anak keluarga Barbar akan
ajaran-ajaran Islam.
c. Prioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah dan Bahasa
Pada periode ini, pendidikan Islam memberi prioritas pada
ilmu-ilmu naqliah yang meliputi ilmu-ilmu agama yang terdiri dari membaca al
Quran, tafsir, hadits, dan fiqih, begitu juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
ilmu di atas, yaitu ilmu-ilmu bahasa
semacam nahwu, bahasa dan sastra. Kecenderungan naqliah dan bahasa dalam aspek
budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa pendidikan pada
masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan untuk mengukuhkan
dasar-dasar agama.
d. Menunjukan Perhatian Pada Bahan Tertulis Sebagai Media
Komunikasi.
Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya
kepentingan penulisan. Pada permulaannya penulisan dirasa penting ketika saat
itu Nabi Muhammad saw. hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas
dasar itu, beliau mengangkat orang-orang yang tahu menulis untuk memegang jabatan
ini. Ibrahim bin al-ibyari dalam ensiklopedia al Qurannya mencatatkan sedikitnya
ada dua puluh empat penulis Rasulullah saw. Diantaranya adalah Abu Bakar, 'Umar
bi Khatab, 'Utsman bin 'Affanm 'Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Abi Waqqas,
Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Zaid bin Tsabit, Khalid bin al-Walid dan 'Amr bin
al-'Ash.
Pada masa Umayah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi ke
dalam lima bidang, yaitu: penulis surat-surat, penulis harta, penulis tentara,
penulis polisi dan penulis hakim. Penulis surat-surat adalah yang paling tinggi
pangkatnya sehingga posisi ini tidak diberikan kecuali kepada keluarga dan teman-temannya.
Penulisan Bahasa Arab itu bertambah penting ketika pengaraban kantor di negeri-negeri
Islam pada masa Abd. Malik bin Marwan. Al-Walid mengikuti jejak ayahnya Abd.
Malik dan dirobahnya penulisan dewan-dewan di Mesir ke dalam Bahasa Arab, yang
sebelum itu dalam bahasa resmi Mesir sebelumnya. Dengan demikian, kita dapati
pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan Bahasa Arab
dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun tulisan di seluruh wilayah
Islam.
e. Membuka Jalan Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing dirasakan sangat
perlu semenjak kemunculan Islam yang pertama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup
terbatas. Hal ini terjadi sebagai akibat dari interaksi Islam dengan negeri-negeri
lain dan semakin meluasnya daerah kekuasaan orang-orang Islam ke luar kawasan
semenanjung Arabia. Sehubungan dengan itu, Nabi saw, telah mengajak para
sahabatnya untuk mempelajari bahasa-bahasa asing diluar bahasa Arab sampi
bersanda: "Barang siapa yang mempelajari bahasa suatu kaum,
niscaya ia akan selamat dari kejahatannya" Keperluan ini semakin
dirasakan penting ketika Islam dipegang oleh Dinasti Umayah dimana wilayah Islam
sudah semakin meluas sampai ke Afrika Utara dan Cina serta negeri-negeri
lainnya yang jelas-jelas bahasa sehari-hari mereka bukanlah bahasa Arab. Dengan
demikian pengajaran bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam
masa itu bahkan semenjak kemunculan Islam pertama kali dalam rangka memenuhi universalitas
agama Islam (rahmatan lil'alamin).
f. Menggunakan Surau (Kuttab) dan Mesjid.
Pendidikan Islam menggunkan terutama sekali surau dan mesjid
sebagai pusat pendidikan. Diantara jasa besar DInasti Umayah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan adalah menjadikan mesjid sebagai pusat aktivitas ilmiah, termasuk
syair, sejarah bangsa-bangsa terdahulu, perdebatan, dan aqidah serta pengajaran-pengajaran
lainnya. Pada masa ini pula pendirian masjjid banyak dilakukan terutama di
daerah-daerah yang baru ditaklukan. Masjid Nabi di Madinah dan Masjid al-Haram
di Mekah merupakan pusat pengkajian ilmiah dan sering dikunjungi oleh
orang-orang Islam dari berbagai wilayah. (Langulung, 2001:18) Pada masa
pemerintahan al-Walid bin Abd. Malik mesjid Umawiyah yang didirikan antara
tahun 88-96 H merupakan universitas terbesar saat itu. Pada masa ini pula
didirikan Masjid Zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas
tertua di dunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirkan oleh 'Uqbah bin
Nafi' yang menaklukan Afrika Utara pada tahun 50 H. dari sini dapat dilihat
bahwa fungsi pendidikan dari mesjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama
penguasa-penguasa kerajaan Umayah pada masa itu.[3]
2. Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Umayah
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa meluasnya daerah kekuasaan Islam,
dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para
sahabat, baik yang ikut sebagai anggota pasukan, maupun yang kemudian dikirim
oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik. Maka diluar Madinah,
di pusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat-pusat pendidikan di
bawah penguasaan para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para penggantinya
(tabi'in) dan seterusnya. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah
Pendidikan Islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut
tersebar di kota-kota besar berikut: Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan
Kufah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir).
a. Madrasah Makkah
Sahabat yang pertama kali mengajar di sini adalah Mu'ad bin Jabal.
Beliau mengajarkan al-Quran dan Fiqih. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan,
Abdullah bin Abbas pergi ke Mekah dan disini beliau mengajar Tafsir, Hadits,
Fiqih dan Sastra. Beliaulah yang selanjutnya terkenal sebagai pendiri madrasah
Makkah dan dikenal oleh seluruh negeri Islam. Diantara murid-murid beliau yang
kelak mengganti posisi beliau adalah Mujahid bin Jabbar seorang ahli tafsir,
Atak bin Abu Rabah seorang Faqih dan Tawus bin Kaisan seorang fuqaha dan Mufti
di Makkah. Usaha ini diteruskan oleh generasi ketiga seperti Sufyan bin Uyainah
dan Muslim bin Khalid dimana Imam Syafi'i sebelum pergi ke Madinah pernah
berguru di Madrasa Makkah kepada kedua ulama tersebut.
b. Madrasah Madinah
Madrasah ini lebih termasyhur dari madrasah-madrasah yang lainnya
dikarenakan disinilah pusat berkumpulnya para pembesar sahabat
Nabi. Madrasah ini pada masa khulafa al-Rasyidin dipimpin oleh Umar bin
Khatab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin
Tsabit adalah seorang ahli qira'at dan Fiqih dan beliaulah yang pada masa Abu
Bakar dan Utsman mendapat tugas berat dan mulia, yaitu memimpin pengumpulan dan
penulisan kembali al Quran. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah seorang ahli
hadits dan dianggap sebagai pelopor dalam perkembangan ahli hadits pada
masa-masa berikutnya. Setelah ulama-ulama sahabat wafat, digantikan oleh
murid-murid mereka, diantaranya, Sa'ad bin Musayyab dan Urwah bin al-Zubair bin
Al-Awwam
yang pada generasi selanjutnya muncul seorang ahli Hadits dan
Fiqh, yaitu Ibn Syihab al-Zuhri.
c. Madrasah Bashrah
Ulama yang terkenal di Bashrah ini adalah Abu Musa al-Asy'ari
seorang
ahli Fiqih, Hadits dan al Quran dan Anas bin Malik yang termasyhur
dalam
bidang Hadits. Diantara guru madrasah Bashrah yang terkenal adalah
Hasan
al-Bashri dan Ibn Sirin. Hasan al-Bashri disamping seorang ahli
Fiqih, ahli
pidato dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan
ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis mazhab ahl Sunnah dalam lapangan
ilmu kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang ahli hadits dan fiqih yang
pernah belajar secara langsung dari Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik.
d. Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggal di Kuffah ialah Ali bin Abu Thalib dan
Abdullah bin Mas'ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah politik
dan urusan pemerintahan sedangkan Abdullah bin Mas'ud sebagai guru agama. Ibnu Mas'ud
adalah utusan resmi khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah. Beliau
adalah seorang ahli tafsir, fiqih, dan banyak meriwayatkan
hadits. Diantara murid-murid beliau adalah Alqamah, al-Aswad,
Masruq, Al-Harits bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah ini pada
perkembangan selanjutnya melahirkan Abu Hanifah, salah sorang pendiri Madzhab
Ahl Sunnah yang terkenal dengan penggunaan ra'yu dalam berijtihad.
e. Madrasah Damsyik dan Palestina (Syam)
Setelah negeri Syam menjadi bagian negara Islam dan penduduknya banyak
memeluk agama Islam, maka Khalifa Umar bin Khattab mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri ini, yaitu Muaz bin Jabal,
Ubadah dan Abu Darda'.
Ketiga sahabat ini mengajar di Syam pada tempat-tempat yang
berbeda, yaitu Abu Darda di Damsyik, Mu'ad bin Jabal di Palestina dan Ubadah di
Hims. Kemudian mereka digantikan oleh murid-muridnya seperti Abu Idris
al-Khailany, Makhul al Dimasyki, Umar bin Abdul Aziz dan Raja bin Haiwah.
Akhirnya madrasah ini kelak melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman
Al-Auza'i yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f. Madarah Fistat
Sahabat yang pertama kali mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir
adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli
Hadits yang bukan hanya menghapal hadits-hadits Nabi tapi beliau
juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa atau khilaf
dalam meriwayatkan hadits-hadits itu kepada muridnya.
Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu
Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja'far bin Rabi'ah. Diantara murid Yazid
yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi'ah dan Al-lais bin Said yang dikenal
sebagai ulama yang mempunyai madzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana
al-Auza'i di Syam.[4]
3. Gerakan-Gerakan Ilmiah Pada Masa Umayah
Yang baru pada masa ini adalah kestabilan politik yang dirasakan
oleh hampir semua negeri-negeri Islam. Akibatnya orang-orang Islam mengarahkan
perhatiannya kepada kebudayaan, ilmu dan peradaban yang mereka jumpai di
negeri-negeri yang berhasil ditaklukan. Walaupun sikap ini tidak datang secara
langsung dari setiap khalifah yang memegang tampuk kepemimpinan.[5]
Berikut ini gerakan-gerakan ilmi'ah yang muncul saat itu,
sebagaimana
yang dikemukakan, yaitu:
a. Penyempurnaan Tulisan Al-Quran
Al-Quran yang telah dikodifikasi pada masa Abu Bakar dan Utsman
ibn
Affan ditulis tanpa titik (sehingga tidak dapat dibedakan antara
huruf fa
dengan huruf qaf, atau antara huruf ba dengan huruf
ta, dan huruf tsa; dan
baris sehingga tidak dapat dibedakan dhammah yang berbunyi
"u", fathah
yang berbunyi "a" dengan kasrah yang berbunyi
"i".
Menurut salah satu riwayat, ulama yang pertama kali memberikan
baris dan titik pada huruf-huruf al Quran adalah Hasan al-Bashri (642-728 M)
atas perintah Abd. Malik ibn Marwan. Beliau menginstruksikan kepada al-Hajjaj untuk
menyempurnakan tulisan al Quran; al-Hajjaj meminta Hasan al-Bashri untuk
menyempurnakannya; dan Hasan al-Bashri dibantu oleh Yahya Ibn Ya'mura (murid Abu al-Aswad al-Duwali). Sedangkan dalam riwayat
lain dikatakan bahwa yang pertama kali membuat barid dan titik pada huruf-huruf
al Quran adalah Abu al-Aswad al-Duwali.[6]
b. Penulisan Hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan (tadwin)
hadits. Beliau memerintahkan kepada Walikota Madinah Abu Bakar Bin
Muhammad bin Amr Ibn Hajm (117 H) yang ada dalam hapalan-hapalan
penghafal hadits. Khalifah menulis surat sebagai berikut:
"Periksalah hadits Nabi saw. dan tuliskanlah; karena aku
khawatir bahwa
ilmu (hadits) akan lenyap dengan meninggalnya ulama; dan tolaklah
hadits selain dari Nabi saw. hendaklah hadits disebarkan dan
diajarkan
dalam majlis-majlis sehingga orang-orang yang tidak mengetahuinya
menjadi tahu; sesungguhnya hadits itu tidak akan rusak sehingga
disembunyikan (oleh
ahlinya)"
Atas perintah khalifah, pengumpulan hadits mulai dilakukan oleh
ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab
al-Zuhri (guru Imam Malik). Akan tetapi, buku hadits yang dikumpulkan oleh Iman
al-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat
bahwa ulama yang pertama membukukan hadits adalah Imam al-Zuhri.[7]
c. Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah
berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran
Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian
terkenal dengan sebutan Ilmu Kalam.
Semula Ilmu Kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis
dari agama Kristen yang sengaja dimasukan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang
menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang
berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan
selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan
politis di tubuh umat Islam sendiri yang bibitnya muncul semenjak khalifah Ali
terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu'awiyah
secara licik.
Aliran-aliran yang muncul saat itu adalah Khawarij dan Murji'ah. Awal
pendirian Umayah ditandai dengan munculnya kelompok yang kontra terhadap Ali
dan Mu'awiyah, yaitu Khawarij. Di samping berperan sebagai gerakan politik,
Khawarij juga berperan sebagai aliran Teologi Islam. Gagasan Khawarij yang
merupakan perpaduan antara pemikiran teologi dan politik terletak pada
gagasannya tentang kewajiban menggunakan hukum
Allah dengan. Mereka berkata lâ hukma Illa lillâh.
Akan tetapi, Khawarij kemudian terpecah-pecah menjadi kelompok
kecil yang akibatnya adalah, terjadi perbedaan gagasan antara aliran yang satu
dengan aliran yang lain. Bagi khawarij, menyelesaikan sengketa bukan dengan
hukum Allah adalah pengingkaran; dan dalam pandangan mereka, tahkim
antara pihak Ali ra. dengan Mu'awiyah dilakukan tanpa hukum Allah. Oleh karena
itu, Ali dan Mu'awiyah dianggap telah melakukan dosa besar; Khawarij
mengkafirkan pihak-pihak yang melakukan dosa besar; dan mereka berpendapat
bahwa hukum membelot dari pemimpin yang menyalahi sunnah Nabi saw. Adalah wajib.
Dalam teori politik, Khawarij lebih bersifat demoratis dari teori-teori politik
yang dianut oleh golongan-golongan politik Islam yang ada saat itu.
Dimana mereka berpendapat bahwa khalifah (jabatan kepala
negara) bukanlah hak monopoli dari suku Quraisy atau yang lainnya. Bagi mereka
tidak ada perbedaan yang mendasar antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya,
bahkan juga tidak ada perbedaan antara Arab dengan yang bukan Arab. Menurut pendapat
mereka, tiap orang Islam sekalipun ia bukan orang Arab, boleh menjadi khalifah
asal saja ia mempunyai kesanggupan untuk itu. Secara bahasa, murji'ah
berasal dari kata al-irjâ (mengakhirkan atau memberikan harapan).
Dinatara gagasan mereka yang penting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat
akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti; dan setelah disiksa, mereka akan
ditempatkan di Syurga. Selain kedua aliran teologi di atas, saat itu pula
berkembang aliran-aliran teologi yang lain semacam Syi'ah dengan teori
imamahnya dan Mu'tazilah dengan rasionya.[8]
d. Madrasah Hasan al-Bashri
Hasan al-Basri dilahirkan pada zaman khalifah Umar Ibn Khaththab
ra.
dan meninggal pada zaman Hisyam Ibn Abdul Malik. Beliau
meninggalkan
sejumlah kitab yang berharga; akan tetapi di antara karyanya yang
dapat
dijumpai hingga saai ini hanya dua, yaitu Risâlat fî Dzamm
al-Qadariyyât dan Kitâb fî Tafsîr al-Qur'ânî. Madrasah Hasan
al-Basri menjadi bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara
beliau dengan Washil ibn Atha (689-749 M) tentang kedudukan pelaku dosa besar.
Suatu ketika Hasan al-Basri
ditanya oleh seseorang dengan berkata: "ya tuan, khawarij berpendapat
bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang
bersangkutan keluar agama (kafir atau murtad); sedangkan Mur'jiah berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena 'amal bukan sendi atau rukun
iman;
bagaimana menurut tuan?"
Hasan al-Basri berdiam
sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan al-Basri bersiap-siap untuk
menjawab, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: "Menurutku, ia
bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi berada diantara posisi mukmin
dan kafir". Setelah itu, Washil keluar dari Madrasah Hasan al-Basri,
dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam
yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah al-manzilah bain
al-manzilatain; dan gelarnya adalah syaikh al-mu'tazilat wa qidimuha.
Di samping itu, Washil bin Atha juga yang mengganga nafy al-shiffat bagi
Allah swt.
e. Gerakan Ijtihad
Dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa sahabat
dan seterusnya, dan karena adanya interaksi dengan budaya-budaya
bangsa
lain, pola kehidupan masyarakat muslim banyak terjadi perubahan
dan banyak menimbulakan permasalahan-permasalah baru. Permasalah-permasalah
baru tersebut mendorong para sahabat untuk menetapkan ketentuan hukum yang sifatnya
baru pula.
Sebenarnya secara umum Nabi Muhammad saw. telah memberikan pedoman
bagaimana cara memberikan keputusan hukum terhadap masalah- masalah baru yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Petunjuk Nabi Muhammad saw. dalam
memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari
ketetapan hukumnya dalam al Quran, jika tidak ada dicari dalam Sunnah atau
Hadits, dan jika tidak ada terdapat dalam keduanya maka gunakan akal pikiran
(ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum. Namun demikian, ternyata dalam
prakteknya mereka mengalami kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat al Quran
hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum. Penjelasan yang rinci
terdapat dalam hadits Rasulullah. Sedangkan hadits Rasulullah tentunya tidak
semua sahabat mengetahuinya secara lengkap. Kesulitan tersebut menjadi lebih
nampak jika sesuatu perkara terjadi pada daerah yang jauh dari sahabat atau
kebetulan sahabat atau tabi'in yang menanganinya tidak mengetahui hadits yang
sesuai. Bagaimana dengan penggunaan ra'yu atau ijtihad? Tentunya hal ini akan sangat
tergantung kepada kemampuan sahabat atau tabi'in atau petugas yang bersangkutan.Dengan
demikian dimungkinkan akan timbul berbagai macam keputusan hukum yang berbeda
dalam masalah yang sama., saat itu dalam berijtihad berkembang dua pola.
Pertama, Tokoh-tokoh Hadits dalam memberikan ketetapan hukum sangat
tergantung pada hadits-hadits Rasulullah, sehingga bagaimanapun juga, mereka
berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain.
Mereka inilah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukukan
hadits-hadits Nabi Muhammad saw. yang mendapat dukungan
sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya
pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk
kepentingan-kepentingan politik. Pola kedua adalah yang dikembangkan oleh
Ahl al-Ra'yu (ahli pikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang
sampai pada mereka dan terdapatnya banyak hadits-hadits palsu. Sehubungan
dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits yang kuat/sahih saja, dan
mereka lebih mengutamakan penggunaan ra'yu dalam berijtihad. Selanjutnya
aliran ahl al-ra'yu ini mendorong usaha penelitian terhadap
hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Di samping itu, mereka juga
mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra'yu dalam
berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut
sebagai Ilmu Ushul Fiqh. Dari dua pola umum ijtihad tersebut, kemudian
berkembang berbagai madzhab (aliran) dalam Fiqh, yang masing-masing
mengembangkan hukum- huku fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqh yang saat itu
berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu Hanifah yang
memimpin madrasah Kuffah dan Imam Malik
yang memegang madrasah Madinah.[9]
BAB III
PENUTUP
A.kesimpulan
1. Ciri-Ciri Umum Pendidikan Pada Masa Umayah
a. Bersifat Arab.
b. Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru
Muncul.
c. Prioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah dan Bahasa
d. Menunjukan Perhatian Pada Bahan Tertulis Sebagai Media
Komunikasi.
e. Membuka Jalan Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
f. Menggunakan Surau (Kuttab) dan Mesjid.
2. Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Umayah
a. Madrasah Makkah
b. Madrasah Madinah
c. Madrasah Bashrah
d. Madrasah Kufah
e. Madrasah Damsyik dan
Palestina (Syam)
f. Madarah Fistat
3. Gerakan-Gerakan Ilmiah Pada Masa Umayah
a. Penyempurnaan Tulisan Al-Quran
b. Penulisan Hadits
c. Teologi Islam (Ilmu Kalam)
d. Madrasah Hasan al-Bashri
e. Gerakan Ijtihad
B Pendapat penyusun
Melihat dari perkembangan yang di alaminya dari periode sebelumnya
menurut penyusun pada masa bani umayyah ini merupan tonggak awal dimana umat
manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya semangat dalam mencari ilmu,
itu bisa kita tinjau dari sistem pengajaran secara halaqohan yang berada
dimasing masing daerah, dan sampai sekarang pun sistem ini masih kita jumpai
dalam pendidikan kita, yakni di indonesia khususnya di pendidikan pesantren dan
diniyah
Selain itu juga pada periode ini masyarakat mulai haus akan
pengetahuan, yang itu bisa kita jumpai pada mulai berkembang nya ilmu kalam dan
juga perdebatan – perdebatan, yang itu perlu dibutuhkan pengetahuan yang cukup
tinggi guna mempertahankan argumen masing – masing ulama, oleh karena itu mereka sangat semangat sekali di dalam
mencari ilmu .
DAFTAR PUSTAKA
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT.
Al-Ma'arif, 1974.
Hasan Langulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1988.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta: UI Press, 2001.
Nasution, Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
(Jakarta: Bulan Bintangm 1975) h. 11.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers. 2004
T.H. Hashbi al-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Quran-Tafsir. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004) h. 1-2.
http : // artikel . blog spot com / 2010/5/ pendidikan bani
umayyah klasik. Html diakses 8
okt 2011
http://oddy32.wordpress.com/2009/12/16/masjid di saudi
arabia / diakses 15
oktober 2011 untuk gambar
|
mas, numpang copas boleh??? good wrote, tapi agak pusing bacanya krn background-nya gelap.
BalasHapus