Jumat, 03 Februari 2012

makalah tafsir bil ma'sur dan bir ro'yi

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ BENTUK TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BI RA’YI “

  1. Rumusan masalah
1.      Bagaimana pembagian tafsir bil ma’tsur dan syarat-syarat tafsir bi ra’yi?
2.      Apa saja kelemahan-kelemahan tafsir bil ma’tsur dan bi ra’yi?
3.      Bagaimana percontohan dari masing-masing tafsir bil ma’tsur dan bi ra’yi?







PEMBAHASAN
BENTUK TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BI RA’YI

A.  Tafsir
      1. Pengertian Tafsir
        Makna tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangakan. Contohnya pada firman Allah SWT.


Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadami sesuatu yang paling benar dan paling baik penjelasannya”. QS : Al-furqon : 36. 

        Tafsir disini berarti penjelasan dan keterangan. Ia diambil dari kata Al-fasr yang bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna Al-fasru adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup.
        Dari sini jelaslah bahwa kata Tafsir digunakan dalam bahasa arab dalam arti membuka secara indrawi. Seperti dikatakan oleh Tsa’lah dan dengan arti secara maknawi dengan memperjelas arti-arti dari dzahir redaksional.
        Sedangkan Tafsir menurut istilah yang paling cocok adalah yang dikutip oleh As-Suyuthi dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum.
        Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hamper sama. Ia adalah ilmu yang membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia[1]
     2. Macam-macam Tafsir ada Empat
        Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa ada empat macam tafsir. Pertama, Tafsir yang diketahui oleh orang arab dari kalamnya. Kedua, Tafsir yang tidak seorang pun dimaafkan atas ketidaktahuannya. Ketiga, Tafsir yang diketahui  oleh ulama keempat, tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
        Tafsir yang pertama adalah Al-qur’an diturunkan dengan bahasa arab, dai Ia dating dengan bahasa yang mereka pakai, dari hakikat, majaz, sharih, kinayah dan sebagainya.
        Tafsir yang kedua maksudnya adalah makna yang amat jelas, sehingga langsung difahami oleh akal manusia, tanpa perlu memusatkan pikiran dan memeras otak. Dapat juga dikatakan yang berkenaan dengan dasar-dasar agama. Sehingga tidak seorang pun dimaafkan akan ketidaktahuaanya.
        Tafsir yang ketiga adalah yang hanya diketahui oleh ulama, yang membutuhkan penyimpulan, pengkajian dan pengetahuan akan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga Ia menarikyang mutlak atas yang muqayyad, yang Aam dan Khas, dan memilih kemungkinan yang dikuatkan oleh penguat tertentu dan sebagainya.
        Tafsir yang keempat adalah tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Misalnya, tentang perkara-perkara yang ghaib, yang hakikatnya seperti alam barzah, masalah akhirat, malaikat arsy, dan terjadinya hari kiamat.








B.     Bentuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi
Penafsiran terhadap Al-qur’an ada dua macam, sebagai berikut : Pertama, yang dinamakan bil ma’tsur atau dengan riwayat. Kedua, yag dinamakan tafsir bir ra’yi atau dengan dirayah (pengetahuan).
1.      Tafsir bil ma’tsur
a. pengertian tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan , bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an[2].
Yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur atau taksir riwayat adalah taksir yang terbatas pada riwayat Rsdulullah SAW. Dan dari sahabat atau murid-murid mereka dan kalangan tabi’in, dan dapat juga dari tabi’in-tabi’in.
Kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua kitab shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, kitab tafsir an-Nasa’I Ia menyediakan satu Juz dari sunan al-Kubra khusus untuk tafsir shahih Ibnu Khuzaiman, shahih Ibnu Hibban dan Mustadrak al-Hakim. Dan sebelum itu adalah al-Mushannaf Abdurrozzaq selain itu juga kitab taksir yang terkenal adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Guran yaitu kalangan Syaikh Mufassirin Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang masuk didalamnya tafsir riwayat dan dirayah sekaligus. Selain itu juga adalah taksir Ibnu Katsir yang dinamakan tafsir al-Qur’an Azim[3].





2.      Pembagian tafsir bil ma’tsur atau bi riwayah
a.       Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِۙ) .الطّارق  (1 :
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1

النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ (
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.




Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ) الدّخان:٣(
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.

Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
b.      Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال: ٦٠(
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah ( القٌُُوَّةُ ) dengan Ar-Ramnya          ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.

c.       Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.

Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
3. kelemahan-kelemahan tafsir bil ma’tsur diantaranya :
a.    Adanya riwayat dhoif, dan mungkar dari riwayat yang didapat dari Rasulullah, sahabat dan tabi’in
b.    Pertentangan riwayat satu sama lain. Misalnya, kita mendapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah SWT.
     “ …… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali  yang (biasa) tampak darinya ……” (an-Nur : 31).
     Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan kedua telapak tangan. Kemusian darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat al-Ahzam.    “ …. Hai…,Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).
c.    Diantara riwayat adalah pendapat seseorang yang tidak terjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, kita mendapati para sahabat dan tabi’in kadang-kadang berbeda satu sana lain. Dalam banyak kesempatan itu adalah perselisian benturan. Ini menunjukan bahwa mereka menafsirkan dengan rasio mereka[4].
d.   Tafsir bil ma’tsur, seperti diriwayatkan kepada kita bukan tafsir yang mengkaji surat persurat, dan dalam satu surat mengkaji ayat perayat, dan dalam satu ayat dikaji kalimat perkalimat.
e.    Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita Israiliyah yang memuat banyak Khurafat yang bertentangan dengan akidah islam.
f.     Sebagian ulama madzhab memuratbalikan beberapa pendapat. Mereka berbuat kebatilan, lalu menyandarkan kepada sebagian para sahabat seperti para ulama madzhab Syi’ah.
g.    Sesungguhnya musuh islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang para sahabat dan para tabi’ain sebagaimana mereka bersembunyi dibelakang Rasulullah SAW. Dalam rangka menjalankan misinya, merobohkan agama denagan cara “ bersembunyi dan menyusup “. Maka dari segi ii, perlu adanya penelitian yang sungguh-sumgguh terhadap pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in[5].

4.    Tafsir bi Ra’yi
Yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah piker serta penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-qur’an dari perangkat syarat dan akhlak[6].
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal (tafsir bi ra’yi), sekalipun memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash hadits shahih. Sebab ar-ra’yu adalah ijtihad, sedangkan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash hadits. Lain halnya kalau tafsir bi Ra’yi tidak bertenangan dengan tafsir bil ma’tsyur, dalam hal demikian itu maka, keduanya saling mendukung dan saling memperkuat[7].
a.     Hukum menggunakan tafsir bi ra’yi
Mengenai tafsir bi ra’yi para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan ada pula yang membolehkan. Adapun yang mengharamkan memiliki dasar sebagai berikut, yakni hadits dari Ibnu Abbas :
 …وَمَنْ قَلَ فِي اْلقُرْاََنِ بِرَاْيِهِ فَلْيَتَبَوَّاْ مَقْعَدَهُ مِنَالنّارِ
Artinya : “…. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menikmati tempat di neraka”.
Jawaban tentang hadits itu yang telah disebutkan tadi. Jika shahih sekalipun ia mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan Ar-ra’yu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Kedua, maka hadits itu mencela orang yang berani menafsirkan Al-qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dibutuhkan dalam menafsirkan Al-qur’an.
Adapun yang memperbolehkan adalah dengan dasar hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan, diantaranya :
مَنْ سُنِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ,اُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامةِ بِلِجَامٍِ مِنْ نَارٍ
Artinya : “Siapa yang ditanya tentang sesuatu yang ia kuasai keilmuanya, kemudian ia menyembuyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikendalikan mulutnya dengan api neraka”.
Tetapi juga ada yang mengambil tafshil dalam masalah ini yakni boleh dengan Ro’yi (rasio) asalkan dengan menggunakan syarat-syarat Mufasyir yang ada tanpa disertai hawa nafsu. Dan tidak boleh menggunakan Ro’yi bila diladeni hawa nafsu[8].

b. Syarat-syarat mufasyir bi-ro`yi ( penafsir al-quran )
Yakni yang terkait dengan ilmu bahasa arab adalah nahwu, sharaf, isyriqaq lughah, balaqhah, qira’at, ushuludin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Selain itu As-Suyuthi mengutip pendpat dari Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat pokok, yaitu :
1.    Bepegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah SAW. Dengan ketentua ia harus waspada terhadap riwayat yang dhoif (lemah) mandhu’ (palsu).
2.    Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakana, menurut peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’, (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabul nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (Ar-Ra’yu).
3.    Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa arab, dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang arab.
4.    Berpegang teguh pada maksud, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hokum syara’. Itullah yang dimaksud Rasulullah dalam do’a beliau untuk Ibnu Abbas, yaitu :
اَلَْلهُمَّ فَقِهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمهُ التَّاءْوِيْلَ
     Artinya : “ya Allah limpahkanlah kedalaman ilmu agama padanya dan ajaran ta’wil padanya”[9].

c.    Kelemahan tafsir bi Ra’yi
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan tafsir bi ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bisa dinilai dengan mutlak akan kebenarannya. Karena pada tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi Cuma menangkap dengan akal. Selain itu juga tidak ada sanad sebagaimana hadits
d.   Contoh Tafsir Bi ra`yi
      Pada al-qur`an surat al ahzab ayat ke 59

يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ  وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا ) الاٴحزَاب : ٥٩ (
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
















PENUTUP
  1. Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Muhammad. 1997. Berdialog dengan Al-quran. Bandung : MIZAN
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-qur’an. Jakarta : Gema Insani
As-Shalih, Subhi. 1999. Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus
Ali Shabuni, Muhammad. 2001. Ikhtisar ulumul Qur’an praktis. Jakarta : Pustaka
Amani
Goldziher, Ignaz. 2003. Madzhab Tafsir. Yogyakarta : El-Saq Press



[1] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 294
[2] Ignat Goldziher. Madzhab Taksir. (Yogyakarta : el-saq Press. 2003). Hal 87
[3] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 296
[4] Ibid. hal 297
[5] Muhammad Ali adh-Shaibuni. Ikhtisar Ulumul qur’an. (Jakarta : Pustaka Amani. 2001) hal. 107
[6] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal  297
[7] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal 388
[8] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 299
[9] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal 387

3 komentar:

  1. thank ... semngt trus ya gan !!!

    BalasHapus
  2. ok sama" ... mkasih bnyak atas kunjungannya ..

    BalasHapus
  3. Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadami sesuatu yang paling benar dan paling baik penjelasannya”. QS : Al-furqon : 36.

    mohon klarifikasi ayat yang anda poskan itu, karena saya sudah menelusuri surat al furqon ayat 36 tapi tafsirannya tidak sesuai dengan yang saudara poskan,, ini tafsiran surat al furqon ayat 36 yang sebenarnya:

    36. Kemudian Kami berfirman kepada keduanya: "Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami." Maka Kami membinasakan mereka sehancur-hancurnya

    BalasHapus